Izza009 06.29
Laporan Khusus Lembaga Kajian Syamina Edisi 10 / Juli 2016 (Pengepungan Benteng Portugis - Kekalahan Super Power Portugis oleh Jihad Baabullah di Ternate)

Akhir Perang Salib di Andalusia Spanyol 1494 begitu pilu. Dengan jatuhnya Granada ke tangan orang Kristen tahun 1494 M dari umat Islam, hilanglah toleransi beragama dan kedamaian dalam berniaga. Timbullah penindasan di luar kemanusiaan. Umat Islam dipaksa untuk pindah agama Kristen. Jika tidak mau murtad harus meninggalkan Spanyol, namun tidak boleh membawa putra-putrinya. Mereka yang tidak sanggup meninggalkan putra-putrinya, mereka memilih masuk Kristen. Apabila tidak mau pindah agama Kristen dibakar hidup-hidup. Selain itu juga dibangkitkan gerakan Anti Semitisme. Artinya Anti Islam dan Yahudi. Hal ini tidak pernah terjadi pada masa Islam.
Dengan kemenangan itu Portugis dan sekutunya, Spanyol merasa sebagai penguasa Dunia. Portugis dan Spanyol mulai bersaing untuk menemukan dan menguasai negeri-negeri di barat dan di Timur untuk dieksploitasi secara ekonomi sekaligus menyebarkan agama Katolik. Untuk menghindari konflik antara dua kekuatan maritim-raksasa ketika itu: Spanyol dan Portugis, Paus Alexander VI memprakarsai lahirnya Traktat Tordesillas (7 Juni 1494) yang “membagi” dunia menjadi dua bagian, separuh untuk Spanyol dan separuh lagi untuk Portugis.
Portugis yang mendapat bagian Timur kemudian bergerak ke negeri-negeri yang mereka sebut Timur Jauh, yakni Asia dengan semangat dan misi reconquita dores (penaklukan terhadap Muslim). Mereka mengejar dan memporak-porandakan negeri asal Muslim yang mereka benci, Afrika Utara. Setelah menghancurkan dan membantai di sana, mereka berusaha mencari orang-orang Moor (Muslim) di luar Afrika utara sambil mencari negeri asal rempah-rempah yang konon dari negeri di Timur yang dikuasai orang-orang Muslim.
Tahun 1488 Portugis sampai di Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Namun belum mengetahui jalan ke India maupun Asia Tenggara, sehingga mereka mencari pemandu dalam pelayaran mereka. Tahun 1498 tentara Portugis yang dipimpin Vasco da Gama tiba di India dengan dipandu oleh seorang navigator Muslim, Ahmad bin Abdul Majid. Menurut Sir R.F. Burton, Ahmad bin Abdul Majid adalah yang pertama menemukan kompas.
Portugis dengan cepat memiliki banyak basis penting di kawasan Timur: Malaka (1511)—pasar rempah-rempah utama, sebuah gerbang untuk masuk ke arah timur dari Eropa, Ambon (1537), Ternate (1530) dan Tidore (1578) dan Makau (1557) di Cina.
Di wilayah yang dilalui pelayaran Kerajaan Katolik Portugis terjadi bencana kemanusiaan. Hal itu terjadi karena motivasi pelayaran mereka bukan berniaga sebagaimana pelayaran yang sebelumnya lazim dilakukan di Asia dan Afrika. Tetapi motivasi mereka adalah reconquita dores (penaklukan terhadap Muslim). Ketika Portugis sampai di Goa India, mereka baru menyadari bahwa Negara sumber rempah-rempah yang selama ini dicari bukan India.
Dalam usaha mencari negeri asal rempah-rempah yang mereka buru karena harganya yang sangat mahal waktu itu, pelayaran Portugis kembali meminta bantuan pemandu Muslim. Nakoda Ismail, seorang pedagang Melayu yang punya banyak pengalaman pelayaran ke Maluku, diminta menjadi pemandu ekspedisi Portugis itu. Dia menggunakan jung Cina sebagai kapal pemandu, yang berlayar paling depan menuntun ketiga kapal Portugis pimpinan d’Abreau. Pelayaran ini merupakan pelayaran armada Eropa pertama di perairan Nusantara.
Sampai di Maluku Portugis diterima sebagai tamu dan mitra dagang yang sangat dihormati Kesultanan Ternate. Kedatangan mereka yang dilengkapi kapal dan senjata modern telah memunculkan harapan baru untuk memenangkan persaingan antar negeri di Kawasan Pulau Rempah-rempah yang selama ini bersaing ketat untuk mengontrol wilayah tersebut.
Dengan angan-angan Sultan Ternate yang muluk-muluk akhirnya semua permintaan tamunya tersebut dikabulkan. Hak monopoli perdagangan rempah-rempah pun diberikan pada Portugis karena awalnya Portugis mau membayar dengan harga yang lebih tinggi daripada yang dibayarkan para pedagang Arab, Jawa, Melayu dan Cina selama ini. Di samping itu Ternate akan mempunyai daya saing yang lebih kuat karena mempunyai mitra asing. Untuk tujuan itu Portugis dibolehkan dan dibantu membangun benteng pertahanan di Ternate.
Lambat laun Portugis menampakkan sifat aslinya sebagai penjajah, bukan mitra dagang atau sekutu bagi Ternate. Sebagai pemilik hak monopoli perdagangan rempah-rempah, mereka menentukan harga semau mereka sendiri, bahkan di bawah harga pasar yang selama ini berlaku untuk mengeruk keuntungan yang besar. Selain itu petani Ternate juga dikenai pajak penjualan yang tinggi dan petani dipaksa untuk menjual dan menyerahkan hasil panennya hanya kepada Portugis.
Di bidang politik Portugis juga mulai berani mencampuri urusan pemerintahan. Bahkan mereka campur tangan dalam suksesi kepemimpinan Sultan Ternate untuk menjamin bahwa Sultan Ternate selanjutnya tidak menentang Portugis untuk melanggengkan posisi mereka di Ternate. Untuk memuluskan tujuan itu, Portugis mewajibkan para putra Sultan untuk dididik di dilingkungan orang-orang Portugis di dalam Benteng Portugis sampai menginjak dewasa. Intrik-intrik dan persekongkolan pun terjadi. Pangeran atau pejabat Kesultanan yang tidak disukai atau dianggap sebagai ancaman Portugis akan disingkirkan dengan berbagai cara. Mulai dari diracuni, dibuang, dipenjara atau dibunuh dengan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Portugis juga berlaku sangat kejam. Siapa saja yang menentang kemauan gurbenur Portugis akan ditangkap, disiksa dan bahkan dieksekusi dengan cara yang sangat keji, walaupun kesalahannya sangat sepele.
Misi penginjilan pun segera dijalankan. Para penyebar agama didatangkan untuk mengonversi agama rakyat Ternate yang mayoritas Muslim menjadi Kristen Katolik. Para pejabat dan bangsawan pun tidak luput dari sasaran Kristenisasi. Banyak rakyat, pejabat dan keluarga Kerajaan Ternate yang kemudian dimurtadkan.
Sultan Khairun yang sejak kecil mengenyam pendidikan dan hidup bersama orang Portugis awalnya mendukung segala program Portugis termasuk Kristenisasi. Bahkan tak jarang Sultan memfasilitasi dan mengawal misi penginjilan di berbagai pulau sekitar Ternate. Namun pada akhirnya Khairun menyadari kesalahannya. Anggapan bahwa Portugis baik mulai sirna dari hatinya. Kekejaman dan ketidak adilan Portugis yang selama ini diberlakukan pada rakyatnya kini sudah tidak bisa tolerir lagi ketika kekejaman dan ketidak adilan itu dia alami sendiri. Khairun tidak setuju dengan rencana Portugis yang akan menaikkan lagi pajak penjualan yang selama ini sudah memberatkan rakyat.
Khairun mulai membangun kekuatan militernya. Anaknya yang tertua sekaligus sebagai putra mahkota diangkat sebagai Kapita Laut (panglima perang) Kerajaan Ternate.
Sikap Khairun yang mulai berubah dirasakan Portugis, dan dianggap sebagai pembangkangan kepada Gubernur Portugis yang berpotensi sebagai ancaman terhadap keberlangsungan misi Portugis. Gubernur kemudian merencanakan untuk menyingkirkan Khairun. Tipu muslihat pun dijalankan, dan rencana licik gubernur berjalan lancar. Khairun ditikam oleh orang suruhan Gubernur ketika diundang ke dalam benteng untuk berunding. Setelah dibunuh jasad Khairun dimutilasi dan dibuang ke laut.
Kejahatan Portugis terakhir semakin memuncakkan kemarahan rakyat dan keluarga Kerajaan Ternate. Baabullah kemudian diangkat menjadi Sultan Pengganti Khairun dan menyerukan jihad pada seluruh rakyat Ternate dan negeri-negeri di sekitarnya untuk menghancurkan dan mengusir Portugis dari Maluku.
Rakyat dan negeri-negeri sekitar Ternate menyambut seruan jihad Sultan Baabullah. Serangan terhadap Portugis dilakukan secara serentak dengan dukungan tersebut. Dimulai dengan markasnya di Ambon untuk mencegah bala bantuan masuk. Dilanjutkan dengan membersihkan seluruh Kepulauan Maluku dari orang-orang Portugis. Markas Portugis di Benteng Gamalama pun mulai dikepung. Orang-orang Portugis yang menyerah semua dimasukkan ke dalam benteng tersebut. Pengepungan berlangsung sampai lima tahun tanpa aksi militer. Pasokan bahan makanan yang semakin lama semakin dibatasi membuat orang-orang Portugis seakan di dalam Penjara yang besar.
Pada tahun kelima tepatnya 28 Desember 1575, bertepatan dengan Saint Stephen’s Day (Hari Suci Santo Stefanus), Portugis menyerah tanpa syarat setelah diultimatum oleh Sultan Baabullah. Gubernur dan Pasukan Portugis keluar dari benteng dengan menunduk dan dengan kondisi tubuh yang kurus kering dan sangat lemah karena kekurangan gizi dan serangan penyakit. Dari semula 900 orang yang terkepung dalam Benteng tinggal 400 orang saja yang keluar saat menyerah pada Sultan Baabullah. Portugis menyerah dan keluar dari Maluku dengan hina setelah berkuasa dan berjaya mengeruk keuntungan dengan zalim di Maluku selama 53 tahun (1522-1575).
Bacaa selengkapnya Laporan Khusus Syamina Lembaga Kajian Syamina Edisi 10 / Juli 2016 di sini.
 

Izza009 06.22
Laporan Syamina Edisi 09/Juni 2016: Jejak Intervensi Amerika di Seluruh Dunia.
Tidak sedikit orang yang melihat sejarah Amerika Serikat mengakui bahwa mereka adalah bangsa beradab. Peradabannya merupakan peradaban mutakhir di muka bumi sehingga Amerika dipandang sebagai negara maju. Amerika ingin memublikasikan nilai-nilainya, seperti “kebebasan, demokrasi, dan keadilan” dan berusaha menjadikannya sebagai nilai yang universal dalam “Tata Dunia Baru”.
Selanjutnya, Amerika berusaha mengeliminasi setiap paham, tindakan, ataupun nilai-nilai lain yang dipandang sebagai pesaing atau ancaman terhadap nilai-nilai Amerika. Misalnya, pada era Perang Dingin, Amerika memandang komunisme sebagai ancaman yang harus diperangi sehingga mereka melakukan intervensi di berbagai negara untuk memeranginya, baik langsung maupun tidak langsung.
Kini—setelah era 11 September—Amerika melancarkan intervensi dengan dalih melawan terorisme global. Dalih lain yang juga sering digunakan adalah “humanitarian intervention” (intervensi atas nama kemanusiaan), yang sering kali dikritik inkonsisten karena dijalankan atas dasar kepentingan dan selera politik Amerika.
Sebenarnya, fakta mengungkapkan bahwa Amerika memiliki banyak catatan negatif atau rapor buruk terkait kebijakan luar negerinya setelah pecah Perang Dunia II. Hal ini dimulai dengan tragedi berdarah, yaitu dengan menjatuhkan bom atom di Jepang, meskipun Perang Dunia II hampir berakhir dalam waktu dekat dan saat Stalin tidak menghentikan pergerakan pasukannya ke jantung Jerman.
Amerika ingin menyampaikan pesan bahwa mereka memiliki berbagai senjata. Pada saat itu Komandan Militer Amerika Serikat Jenderal George Marshall memerintahkan untuk melaksanakan pemboman terhadap sebuah kota yang luas di Jepang yang padat penduduk. Diterbangkanlah 334 pesawat Amerika untuk menjatuhkan bom untuk menghancurkan area seluas 16 mil persegi. Membunuh dalam hitungan jam sekitar 140 ribu orang (sampai dengan akhir tahun 1945).
Kemudian diakhiri dengan adegan paling berdarah pada era kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu saat mereka menjatuhkan dua bom nuklir di atas kota Hiroshima dan Nagasaki, yang menyebabkan puluhan ribu jiwa melayang, tanpa perbedaan antara sipil dan militer ataupun seorang pria, wanita, dan anak. Dampaknya sekitar 1 juta orang mengungsi ke Tokyo dan 64 kota di Jepang lainnya.
Setelah itu, Amerika juga tercatat banyak melakukan kejahatan kemanusiaan di berbagai penjuru dunia. Di mana sajakah itu? Simak selengkapnya dalam Laporan Syamina Edisi 09/Juni 2016: Jejak Intervensi Amerika di Seluruh Dunia.
 

Izza009 06.21
Laporan Syamina Edisi 8 Mei 2016
Prestasi yang berhasil ditorehkan Umar bin Khaththab tatkala menjabat khalifah terasa cukup unik dan mengesankan. Umar bin Khaththab yang dijuluki oleh Rasulullah sebagai Al-Faruq langsung menjabat sebagai khalifah pengganti Abu Bakar setelah kematiannya pada tahun 13 Hijriah.
Jika Abu Bakar adalah khalifah yang berjasa mengokohkan politik Islam dan membuka jalan bagi pembebasan negeri-negeri di sekitarnya dengan foreign policy (kebijakan luar negeri) yang diambilnya, terkhusus Irak dan Syam, maka dapat dikatakan bahwa Umar bin Khaththab adalah penyempurna foreign policy Abu Bakar.
Sejarah mencatat, dalam rentang waktu selama sepuluh tahun lebih masa khilafahnya, Umar berhasil meruntuhkan hegemoni Persia dan Romawi, terkhusus di wilayah Irak, Syam, Mesir dan Jazirah Arab. Bahkan tidak hanya berhasil meruntuhkan hegemoni Persia, Umar bin Khaththab juga tuntas melenyapkan eksistensi Persia.
Pproses berjalannya kebijakan tersebut dan langkah-langkahnya dapat Anda simak melalui Laporan Syamina Edisi 8 Mei 2016 berikut ini.
 

Izza009 05.46
Download Lapsus Syamina: Kesetiaan Para Sultan Kepulauan Hindia pada Khilafah Turki Utsmani


Kontak paling awal antara penguasa di Kepulauan Hindia dengan Khilafah Islamiyah di Timur Tengah bermula sejak masa khilafah Bani Umayyah yang kala itu di pimpin oleh Khalifah Mu’awiyah. Ketika khilafah diperintah Bani Umayyah (660-749 M), sejumlah wilayah di Kepulauan Hindia masih berada di bawah kekuasaan kerajaan Hindu-Budha. Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan Budha di Kepulauan Hindia yang tercatat memberikan pengakuan terhadap kebesaran khalifah. Pengakuan ini dibuktikan dengan adanya dua surat yang dikirim oleh raja Sriwijaya kepada khalifah Bani Umayyah. Surat pertama dikirim kepada Khalifah Mu’awiyah, dan yang kedua dikirim kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Di kedua surat yang ditujukan pada Khalifah Umar bin Abdul Aziz selalu disebutkan dari Raja Hind (Al-Hind). Hal ini menjelaskan bahwa penyebutan awal wilayah yang sekarang di kenal dengan Asia Tenggara yang saat ini terbagi menjadi beberapa negara adalah Al-Hind atau Kepulauan Hindia. Dalam Zenanname (1776), sebuah karya dari Turki tentang keutamaan dan kekurangan perempuan dari  berbagai negeri, yang dikutip oleh British Library, menyebut  wilayah kepulauan Asia Tenggara sebagai ‘Hindia Timur’ (dar bayan-I zanan-i Hind-i Sharqi).
Para tokoh Hadhrami yang berpengaruh memposisikan diri sebagai mediator antara Muslim Jawi (yang mana di Arab komunitas muslim Asia Tenggara dikenal dengan sebutan Jawi/orang Jawa) dan penguasa Utsmani, untuk masuk dalam lingkaran kedaulatan Utsmani guna membendung penjajahan Eropa di Asia Tenggara.
Pada abad ke-16, Aceh menjalin hubungan langsung dengan Khilafah Ustmaniyah. Dalam serangkaian keputusan Sultan Salim II pada tahun 1567 ia memerintahkan 15 armada kapal dan 2 barques untuk dikirim membantu Aceh, sultan juga menginstruksikan Gubernur Mesir untuk membangun sebuah kanal di Suez sehingga kapal perang bisa pergi bolak-balik ke Samudera Hindia secara teratur.
Sultan Salim II juga menginstruksikan sebuah Angkatan Laut di bawah komando Laksamana Kourdoglu Hizir Reis dari Armada Utsmaniyah di kawasan Laut Merah untuk berlayar menuju Sumatera (Aceh) pada tanggal 20 September 1567. Pada waktu itu Turki Usmani memiliki empat kekuatan Angkatan Laut yang terpencar. Mereka terdiri dari kekuatan Armada Angkatan Laut di Mediterania, Laut Hitam, Laut Merah, dan Stream Flest di Danube. Selain itu juga ada beberapa angkatan laut di teluk Basra, akan tetapi mereka tidak termasuk dalam satu organisasi AL. Sultan Salim II juga memerintahkan secara tertulis kepada beberapa ulama serta para ahli teknik untuk ikut serta berlayar dan tinggal di Sumatera sejauh Sultan Aceh masih memerlukan mereka.
Di antara sumbangan monumental yang diberikan oleh Khilafah Turki Utsmani kepada Aceh ialah dibangunnya Sekolah/Akademi Militer dengan nama: “Mahad Beitul Mukaddis” (atau Ma’had Baitul Makdis) di Aceh. Para instruktur Turki baik Darat maupun Laut telah mendidik para Taruna Aceh di Akademi Militer tersebut. Akademi Militer ini memiliki dua jurusan, darat dan laut.
Salah satu alumni dari sekolah militer ini yang sangat tersohor adalah Laksamana Malahayati (atau Keumala Hayati), Seorang Laksamana perang perempuan yang memimpin kurang lebih 1000 orang pasukan Inong Balee (perempuan janda) satu-satunya pasukan khusus kaum perempuan yang gagah berani. Laksamana Malahayati bukan saja hanya sebagai   Laksamana  pertama di Aceh, dia  adalah seorang Laksamana perempuan pertama di dunia yang disegani musuh. Dalam sejarah perjalanan pengabdiannya pada Kesultanan Aceh Darussalam ia telah membuktikan keberaniannya dengan membunuh Cornelis De Houtman, seorang pemimpin Belanda pertama yang menginjakkan kaki di kepulauan Asia Tenggara. Tidak salah bila Laksamana Malahayati ditetapkan sebagai salah satu pahlawan perempuan Aceh.
Ketika Belanda mulai secara agresif memperluas kekuatannya di Sumatera, Aceh sekali lagi meminta bantuan kepada Khilafah Utsmaniyah. Pada tahun 1849 Sultan Mansur Syah dari Aceh (1838 – 1870) mengirimkan utusan ke Sultan Abdul Majid dengan membawa surat yang menegaskan kembali status Aceh sebagai negeri di bawah kedaulatan Utsmani, dan meminta bantuan menghadapi Belanda.
Turki pada masa itu berada dalam era Utsmaniyah, Kesultanan Islam terbesar yang muncul pasca kejatuhan Baghdad tahun 1258 M. sampai awal abad ke-20. Sehingga kesultanan Turki Utsmani dipandang oleh Dunia Islam sebagai pelindung atau pengayom bagi negara-negara Islam di seluruh Dunia (penerus Khilafah Islamiyah). Saat itu Kesultanan Turki Utsmani sedang berada pada puncak kejayaannya. Wilayah kekuasaan Turki termasuk daerah pengaruhnya meliputi 10 juta Km2, dari Maghrib sampai Kaukasus dari gerbang Wina di Eropa.
Dewasa ini, temuan baru dari arsip di Istanbul menunjukkan bahwa sejak awal abad ke-19 permintaan perlindungan dari para raja Melayu kepada Khilafah Utsmaniyah menggunakan semua unsur retorika yang kemudian dipakai dalam kebijakan Pan-Islamisme Utsmani. Dalam surat-surat dari Kedah (1824), Aceh (1849, 1850), Riau (1857) dan Jambi (1858), Sultan Utsmani disebut sebagai Sultan Islam dan kaum Muslim, Khalifah Allah, pemimpin dari mereka yang melancarkan Jihad fi sabilillah, penjunjung syariah, dan pengabdi dua tempat suci.
Bukti nyata pengaruh Khilafah Turki Ustmani di Asia Tenggara adalah ketika Perang Dunia I dengan adanya proklamasi jihad dari Khalifah Muhammad Rasyid pada tahun 1914. Dalam satu pamflet berbahasa Arab yang dikeluarkan Istanbul dan ditujukan pada semua bangsa yang terjajah, termasuk Kepulauan Hindia, untuk bangkit melawan penguasa mereka yang kafir.
Hubungan kesultanan-kesultanan Islam di Kepulauan Hindia dengan Khilafah Turki Utsmani merupakan fakta sejarah yang tak terbantahkan. Bukan hanya hubungan yang bersifat temporer atau tentatif, tetapi merupakan relasi yang mengakar dan berlangsung selama ratusan tahun, sejak awal berdirinya Kesultanan Turki Utsmani hingga menjelang keruntuhannya setelah Perang Dunia I. Dengan demikian, diskursus tentang khilafah bukan hal baru bagi umat Islam di Kepulauan Hindia, karena nenek moyang kita sudah mempraktikkan pola hubungan government to government dengan institusi Khilafah Islamiyah.

Izza009 05.44
Download Lapsus Syamina: Gagal di Suriah, PBB Membuat Prevent Violent Extremism
Konflik di Suriah kini memasuki tahun kelima. Jumlah korban semakin meningkat, hingga mendekati 500.000 korban jiwa. Bagi rakyat Suriah, pengeboman, pembunuhan dan penyiksaan adalah horor yang mereka hadapi setiap hari. Suriah mengungkap sebuah fakta tentang ketidakberdayaan Dewan Keamanan PBB di era rivalitas yang tajam hari ini. Karena di Suriah, sistem di PBB bekerja, tapi tidak untuk rakyat Suriah.

Apa yang terungkap dari konflik di Suriah tentang PBB adalah bahwa sistem tersebut “tidak bermoral”, bahkan saat ia “berfungsi” sekalipun. Ia dipasang untuk menjalankan kepentingan great powers—dan mengurangi kemungkinan terjadinya perang di antara mereka. Sistem tersebut memberikan sebuah tatanan dasar. Tapi, tatanan tersebut jauh dari keadilan—sebagaimana yang kita lihat di Suriah, dan gagal untuk menghadirkan perdamaian.
Banyak yang terkejut dengan meningkatnya eskalasi kekerasan yang terjadi di sana. Namun, sejatinya hal yang paling mengejutkan adalah semua orang terkejut dengan kegagalan PBB tersebut. PBB adalah organisasi yang cacat yang tidak mampu untuk mencapai tujuan-tujuan yang ia nyatakan, apalagi memenuhi kebutuhan dan harapan berbagai pihak yang tertindas dan mengalami penderitaan di seluruh dunia—yang menjadikan PBB sebagai harapan terakhir mereka.
Setelah berulangkali mengeluarkan resolusi untuk mengatasi konflik di Suriah, dengan rapor buruk, PBB mengeluarkan Plan of Action to Prevent Violent Extremism (PVE).
Dengan program PVE-nya, Barat berusaha mendefenisikan ulang Islam. Meski dalam retorikanya ingin perdamaian dan persatuan, realitanya mereka justru berusaha memecah belah Islam dengan membuat pengelompokan: Islam moderat dan Islam ekstrim. Padahal, “Islam adalah Islam, dan akan selalu demikian hingga hari kiamat.”
Mungkin, mereka bisa memotong seluruh bunga, namun mereka tidak bisa mencegah datangnya musim semi.


Izza009 05.41

Laporan Syamina Edisi 05/Maret 2016
“Cara untuk berubah dan membebaskan diri kalian dari tekanan pelobi bukanlah melalui partai Republik ataupun partai Demokrat, tetapi dengan melakukan revolusi besar untuk kebebasan… Ini tidak hanya mencakup peningkatan situasi ekonomi dan menjamin keamanan kalian, tetapi yang lebih penting, membantunya dalam membuat keputusan yang rasional untuk menyelamatkan manusia dari gas (rumah kaca) berbahaya yang mengancam nasib bumi.”
Osama bin Laden–To the American People
KIBLAT.NET – Pada awal Maret 2016, pemerintah Amerika Serikat merilis kumpulan dokumen kedua yang ditemukan personel militer negara itu saat menggelar penyerbuan di rumah Osama bin Laden di Abbottabad, Pakistan. Seperti yang dikutip oleh Business Insider, Rabu (02/03), di antara surat-surat yang dibeberkan kepada publik oleh Kantor Direktur Intelijen Nasional Amerika Serikat (ODNI) berisi kutipan pesan di atas.
Osama bin Laden terbunuh dalam penyerbuan pasukan khusus AS Navy SEALS tersebut pada 2 Mei 2011 yang lalu. Lebih dari 100 dokumen yang ditemukan di kediaman Osama dibeberkan oleh ODNI. Dari 113 dokumen yang dirilis, ada sejumlah poin penting yang berisi wasiat untuk partner jihadis maupun pesan untuk musuhnya, terutama Amerika Serikat.
Dokumen-dokumen itu juga mengungkapkan dinamika Al-Qaidah, termasuk perbedaan pandangan antara petinggi kepercayaan Osama dan jaringan Al-Qaeda di Irak. Ringkasan dari isi dokumen tersebut dapat Anda baca dalam Laporan Syamina Edisi 05/Maret 2016 berikut ini.

Diberdayakan oleh Blogger.