KETIKA DOSEN MELIHAT KAKI SANTRI CIAMIS BERDARAH-DARAH


Setiap melewati permukiman, ribuan santri Ciamis disambut dengan penuh cinta. Ada rasa bangga pada anak-anak muda yang menempuh ratusan Kilometer demi Kalam SuciNya, ada pula rasa haru berpadu air mata.

Salah satu fragmen cinta itu terkisah apik saat seorang dosen Universitas Padjadjaran (Unpad) melihat kaki salah seorang santri berdarah.

Ini kisahnya seperti dituturkan sendiri oleh Dosen Unpad

Maimon Herawati

Saat Hati Berdetak karena Hal yang Sama


Usai mengajar kelas pagi, saya turun ke Jatos. Dengan Isna, kami memilih sandal gunung dan sepatu nyaman pakai. Seluruh sandal dan sepatu ukuran 39-42 kami beli. Teteh penjaga toko menelpon pemilik toko, minta harga sangat murah dibanding harga yang tertulis di sandal gunung itu.

Gembolan besar itu dengan cukup sulit dibawa menggunakan motor ke arah Dangdeur.

Di sana berbaris masyarakat. Murid TK sampai SMK. Remaja sampai nenek kakek. Di depan mereka berbagai hal: baju, makanan, sepatu dsb.

Pekikan takbir terdengar sesekali. Juga yel yel. "Islam bersatu, tidak bisa dikalahkan!'

Kepala-kepala itu melongok, menunggu-nunggu kedatangan remaja santri Ciamis.

"Mereka hebat. Mereka luar biasa." Demikian komen-komen yang terdengar.

Saya menggabungkan diri dengan teman yang lain.

Hampir sejam, satu persatu mujahid remaja itu mendekat. Sebagian bertopi lebar. Wajah mereka penuh senyum. Sebagian mereka, tangannya sudah penuh dengan barang-barang.

Masyarakat harus dipaksa mundur karena semua berebut ke tengah jalan, membawakan berbagai hal.

"Dikumpulkan saja dalam truk, Ibu-Ibu," pinta koordinator. "Nanti akan dibagikan."

Ada banyak yang menyeka airmata.

Sekejab saja sandal-sandal gunung dan sepatu itu habis.

Di depan saya masih lewat remaja-remaja santri.

Wartawan Antara yang berdiri tak jauh dari saya menjelaskan jumlah santri yang dia saksikan berkisar 1500 orang.

Ada yang bersandal jepit. Kakinya nampak bekas darah mengering.

"Nomor kakimu berapa, Nak?"

Dia mendongak. "43."

Saya tersenyum. "Maaf ya, Bu Imun belum membeli nomor itu tadi. Bu Imun akan segera beli dan kirimkan ya. Insya Allah."

Dengan Isna, kami kembali ke Jatinangor, mencari toko sepatu yang lain. Lagi seluruh sandal gunung dan sepatu nyaman ukuran 42-44 stok toko dihabiskan. Plus berlusin-lusin kaos kaki.

Kembali ke Cipacing.

Santri-santri sudah berkumpul di RM Sehati. Saya mendapat info dari Faris ada Gubernur Jabar di dalam. Banyak bus berjejer di luar rumah makan.

Saya menyerahkan gembolan pada Faris.

Saya sendiri tak lama di sana karena harus menjadi pembicara pada seminar nasional di kampus.

Sempat bertelponan dengan Kang Teddy Setiadi. Beliau juga di lapangan.

Sepanjang jalan tadi, banyak ditemui wajah yang sering bersama dalam aktivitas kepalestinaan dan lainnya.

Ah, saat hati itu berdetak karena hal yang sama....tidak janjian pun Allah pertemukan.

Semoga demikian juga hendaknya nanti pertemuan di surga. Amiin.

-------------------------------
Other Story
-------------------------------


Penantian saya dan orang-orang yang berbaris di sepanjang Jl Raya Cileunyi, tidak sia-sia pun tidak surut walau hujan terus mengguyur.

Begitu rombongan pendemo dari Ciamis yang berjalan kaki muncul dari kejauhan, semua bersiap. Kami berdiri, berbaris panjang sekali di tepi jalan, menenteng kresek dan kardus berisi segala macam yang bisa kami berikan. Air minum dalam kemasan, hansaplast, jamu dalam kemasan sachet siap minum, masker untuk jaga-jaga jika nanti gas air mata disemburkan penguasa, sandal jepit, jas hujan dan pakaian ganti plus sekantung plastik roti, donat, permen, buah, cemilan dll dalam satu plastik berbentuk paketan, kami bagikan. Mereka, menerima dengan sangat senang hati.

Takbir bersahutan tiada henti. Hujan, banjir, tidak menyurutkan massa untuk berkumpul memanjang dari Ujung Jalan Raya Cileunyi sampai Bundaran Cibiru dan sepanjang jalan Soekarno-Hatta sampai Kantor Perhutani Soekarno - Hatta.

Yang membuat saya merinding, seorang santri kecil berusia delapan tahun, terlihat ikut berjalan bersama rombongan. TANPA ALAS KAKI, mengatupkan kedua telapak tangan dan menggigil kedinginan diguyur hujan.

Segera saya "tewak" dan tarik ke pinggir anak itu.
"Sandalnya mana ?" tanya saya.
"Putus Buu, jadi saya buang," katanya.
Seorang dari kami menyodorkan sepasang sandal jepit baru.
"Bawa baju ganti ?" tanya saya lagi.
Anak itu menggeleng.

Saya tarik makin ketepi, tepat di Teras Bank BJB ini. Saya minta dia melepas plastik kantung yang dipakainya untuk menahan hujan. Ternyata baju seragam santri yang dipakainya pun basah kuyup. Segera kami sodori sehelai kaos panjang dan trening panjang, lalu dia memakai jas hujan yang juga kami sodorkan.

"Kenapa ikut ?" tanya saya.
"Ngagentosan ( menggantikan ) pun Bapa ( ayah saya )," jawab anak lelaki itu.
"Bapa ade kamana ( Bapakmu kemana ) ?" tanya saya sambil menggenggam kan beberapa lembar uang.
"Atos ngatunkeun ( sudah tiada )," jawab seorang santri dewasa yang muncul di belakangnya.

Ada rasa nyeri yang menyayat perut di bawah iga kanan saya
Entah apa yang ada di benak para penghina, penyinyir dan penista yang kedua orangnya masih lengkap, berusia dewasa, punya biaya, uang banyak, gagah perkasa DAN dia MUSLIM tapi bisanya cuma menyinyiri, menista dan menghina...

Rombongan lewat, semua logistik paketan habis kami bagikan. Tinggal logistik dalam wadah kardus dan karung. Kami naikkan ke ambulance dan mobil-mobil bertanda rombongan.

Tetiba saya dibuat terkejut. Satu demi satu gadis-gadis berjilbab lebar itu bergantian memeluk saya dan saling berpelukan antar sesamanya dengan mata basah.
Ucapan syukur dan tangis kegembiraan mereka, juga terasa menyayat hati saya.
"Bu, ayo ikut !" teriak anak gadis berjilbab lebar dan mengendarai sepeda motor. Saya diajak ikut mengiringi laju rombongan itu bersama anak-anak lain, dengan motor mereka.

Bahagianya hari ini, melupakan derita nyeri di hari pertama datangnya "tamu bulanan" saya.....


Sumber: WA dan akun FB Dara Lana Tan
#CintaCIAMIS
#MALUHATI

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.